Selasa, 30-09-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Teori Tabula Rasa dan Relevansinya dalam Pendidikan Modern

Diterbitkan : Sabtu, 19 April 2025

Bapak/Ibu Yth.
Jangan lewatkan kesempatan belajar materi bermanfaat tentang Membuat Lagu Tanpa Punya Dasar Musik.
Sabtu, 03 Mei 2025
09.00 WIB-Selesai

Materi Webinar
1. Membuat lagu dari berbagai genre
2. Menemukan tema lagu yang menarik
3. Membuat lirik lagu
4. Mengemas lagu buatan sendiri

Daftar sekarang ke nomor ini : 081390220602

Dalam dunia pendidikan dan filsafat, terdapat banyak teori yang mencoba menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Salah satu konsep paling menarik dan berpengaruh dalam diskusi ini adalah “tabula rasa.” Teori ini memberikan gambaran tentang bagaimana manusia memulai kehidupan intelektualnya, dan bagaimana lingkungan serta pengalaman membentuk siapa kita sebenarnya. Konsep ini bukan hanya menjadi dasar dalam memahami perkembangan kognitif anak, tetapi juga memberikan pijakan penting bagi para pendidik dalam mendesain pembelajaran yang bermakna.

Gagasan mengenai “tabula rasa” berasal dari pemikiran filsuf Inggris, John Locke. Ia memperkenalkan teori bahwa pikiran manusia pada saat lahir ibarat selembar kertas kosong yang belum terisi—tanpa ide, tanpa pengetahuan. Melalui interaksi dengan dunia, melalui pengalaman dan penginderaan, perlahan-lahan “kertas” ini mulai terisi dengan berbagai hal yang kita pelajari. Teori ini menantang pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan pengetahuan bawaan atau ide-ide tertentu. Bagi Locke, semua pengetahuan berasal dari pengalaman, baik pengalaman luar (melalui indera) maupun pengalaman dalam (refleksi terhadap pikiran dan perasaan sendiri).

Pemahaman ini membawa dampak besar dalam dunia pendidikan. Jika anak-anak lahir tanpa pengetahuan, maka lingkungan, pengasuhan, dan pendidikan memainkan peran utama dalam membentuk pribadi dan kecerdasan mereka. Sekolah, keluarga, dan masyarakat menjadi “pena” yang menulis di atas kertas kosong tersebut. Setiap kata, setiap tindakan, dan setiap pengalaman menjadi coretan yang membentuk jati diri seorang manusia.

Pengenalan konsep “tabula rasa” bukan sekadar teori filsafat semata, melainkan sebuah ajakan bagi kita—para pendidik, orang tua, dan masyarakat—untuk menyadari betapa pentingnya peran kita dalam menanamkan nilai, membangun karakter, dan menyemai pengetahuan. Karena di balik selembar kertas kosong itu, tersimpan potensi tak terbatas yang menunggu untuk dihidupkan.

Mengenal John Locke

John Locke adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Sebagai filsuf Inggris abad ke-17, pemikirannya telah membentuk fondasi banyak ide modern, terutama dalam bidang pendidikan dan perkembangan manusia. Di tengah era ketika pandangan tentang manusia masih banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin kuno, Locke hadir dengan gagasan revolusioner yang menempatkan pengalaman sebagai kunci utama dalam membentuk pengetahuan dan karakter individu.

Salah satu kontribusi terbesar Locke terletak pada pandangannya bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan netral, tanpa pengetahuan bawaan. Gagasan ini dikenal sebagai konsep tabula rasa, yang menggambarkan pikiran manusia saat lahir sebagai “kertas kosong” yang akan diisi oleh pengalaman. Melalui interaksi dengan lingkungan dan refleksi diri, setiap individu secara bertahap mengisi lembaran hidupnya dengan pemahaman, nilai, dan keterampilan. Pandangan ini menekankan pentingnya pendidikan dan pengasuhan dalam membentuk manusia.

Dalam pemikiran Locke, pendidikan bukan hanya soal mentransfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan karakter dan penalaran. Ia percaya bahwa kebiasaan baik, disiplin, dan pemikiran kritis perlu ditanamkan sejak dini. Baginya, anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa yang harus dicekoki ajaran, melainkan individu yang harus dibimbing secara bijak agar tumbuh menjadi pribadi merdeka, rasional, dan bertanggung jawab.

Pengaruh Locke terhadap pendidikan modern tidak bisa diremehkan. Ia menginspirasi pendekatan-pendekatan pembelajaran yang humanis dan berbasis pengalaman. Banyak prinsipnya kini menjadi bagian penting dalam praktik pendidikan saat ini, seperti pentingnya pembelajaran aktif, pengembangan karakter, dan pemberian ruang bagi anak untuk mengeksplorasi dunianya sendiri.

Sebagai filsuf abad ke-17, warisan pemikiran John Locke tetap hidup dan relevan. Ia tidak hanya membuka jalan bagi filsafat modern, tetapi juga mengingatkan kita bahwa setiap manusia memiliki potensi luar biasa yang menunggu untuk dibimbing dan dibentuk melalui pendidikan yang penuh perhatian.

Tujuan Artikel

Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengulas inti dari teori tabula rasa dan menjelaskan relevansinya dalam konteks pendidikan modern. Teori ini, yang dicetuskan oleh filsuf Inggris John Locke, menyatakan bahwa pikiran manusia saat lahir ibarat selembar kertas kosong—belum terisi oleh ide atau pengetahuan apa pun. Seluruh pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, baik melalui penginderaan maupun refleksi.

Dalam pendidikan modern, konsep ini menjadi landasan penting. Jika anak-anak lahir tanpa bawaan pengetahuan, maka lingkungan, pengalaman belajar, dan peran pendidik menjadi faktor penentu dalam membentuk karakter dan kecerdasan mereka. Teori tabula rasa menegaskan bahwa setiap anak memiliki potensi untuk berkembang, tergantung pada bagaimana mereka dibimbing. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan yang menghargai pengalaman nyata, pembelajaran aktif, dan pengembangan karakter menjadi semakin relevan. Teori ini mendorong para pendidik untuk tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk—dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Tabula Rasa: Ketika Pikiran Manusia Dimulai dari Sebuah Kertas Kosong

Dalam khazanah pemikiran filsafat, terdapat satu gagasan klasik yang terus menjadi referensi penting dalam memahami asal-usul pengetahuan dan proses pendidikan manusia, yaitu teori Tabula Rasa. Gagasan ini dipopulerkan oleh filsuf Inggris abad ke-17, John Locke, yang menyampaikan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan pengetahuan bawaan, melainkan hadir ke dunia dalam keadaan seperti selembar kertas kosong—belum tertulis satu pun kata, belum terbentuk satu pun gagasan. Inilah inti dari teori Tabula Rasa yang menjadi salah satu landasan utama dalam memahami bagaimana manusia belajar dan berkembang.

Secara definitif, Tabula Rasa berarti “papan kosong” atau “kertas kosong.” Konsep ini menggambarkan bahwa pikiran manusia pada saat lahir tidak membawa pengetahuan atau ide apa pun secara alami. Tidak ada intuisi bawaan, tidak ada kecenderungan intelektual yang diwariskan secara otomatis. Pengetahuan diperoleh semata-mata dari pengalaman yang dialami sejak seseorang mulai berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Dengan kata lain, semua informasi, pemahaman, dan keahlian yang dimiliki seseorang adalah hasil dari proses belajar—baik yang disadari maupun yang tidak disadari.

Teori ini menempatkan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Locke membagi pengalaman menjadi dua jenis: sensation (pengalaman indrawi) dan reflection (pengalaman batiniah dari hasil berpikir). Pengalaman indrawi menjadi pintu pertama manusia mengenal dunia. Sejak bayi, manusia mulai mengamati warna, mendengar suara, merasakan sentuhan, dan mencium aroma. Semua itu membentuk kumpulan data awal yang akan diolah oleh pikiran menjadi pengetahuan. Sementara itu, refleksi menjadi proses internal ketika manusia mulai berpikir tentang apa yang dirasakan, membandingkan, menyimpulkan, dan memahami makna dari setiap pengalaman tersebut.

Dari sinilah terbentuk proses pembelajaran yang bersifat aktif dan terus berkembang. Pikiran manusia tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga memproses, menafsirkan, dan menyusun ulang pengalaman menjadi pemahaman yang lebih kompleks. Observasi dan interaksi dengan lingkungan menjadi dasar pembelajaran. Anak-anak yang aktif mengeksplorasi lingkungannya cenderung memiliki pemahaman yang lebih luas, karena mereka secara langsung menyentuh sumber utama pengetahuan menurut teori ini: pengalaman nyata.

Implikasi filosofis dari teori Tabula Rasa sangat besar. Salah satunya adalah penolakan terhadap gagasan bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan atau naluri tertentu sejak lahir. Locke menolak anggapan bahwa manusia sudah memiliki konsep moral, matematika, atau Tuhan dalam pikirannya sejak bayi. Semua konsep itu diperoleh melalui pembelajaran dan pengalaman hidup. Dengan demikian, teori ini juga menanamkan keyakinan kuat bahwa semua individu, tanpa memandang asal-usul atau kondisi kelahirannya, memiliki potensi yang sama untuk berkembang—selama mereka mendapatkan kesempatan belajar yang cukup dan lingkungan yang mendukung.

Pandangan ini membawa optimisme besar dalam dunia pendidikan. Bila semua anak adalah tabula rasa, maka tugas pendidik bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menjadi penulis pertama di kertas kosong itu—menorehkan nilai, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang akan membentuk karakter dan masa depan sang anak. Pendidikan tidak boleh bersifat seragam, sebab setiap anak memiliki pengalaman yang unik dan jalan belajar yang berbeda-beda. Maka, pembelajaran yang kontekstual, aktif, dan penuh empati menjadi pendekatan yang paling sesuai untuk menumbuhkan potensi setiap individu.

Teori Tabula Rasa mengajarkan bahwa manusia bukan produk jadi, melainkan karya yang masih terus ditulis. Dan pena utama dalam proses itu adalah pengalaman, baik yang diberikan oleh guru, orang tua, teman, maupun lingkungan. Di sinilah letak kekuatan dan keindahan gagasan Locke—bahwa dengan pengalaman yang tepat, setiap manusia dapat tumbuh menjadi versi terbaik dirinya.

Pendidikan dan Lingkungan: Pilar Pembentuk Karakter dan Masa Depan Manusia

Pendidikan bukan hanya proses mentransfer ilmu dari guru kepada murid. Ia adalah perjalanan panjang dan kompleks yang turut membentuk jati diri, cara berpikir, dan arah hidup seseorang. Dalam teori tabula rasa yang dicetuskan John Locke, manusia dilahirkan tanpa pengetahuan bawaan, ibarat kertas kosong yang akan ditulis oleh pengalaman dan pengaruh dari sekelilingnya. Oleh karena itu, pentingnya pendidikan dan lingkungan dalam membentuk individu menjadi kunci utama yang tidak bisa diabaikan.

Manusia adalah makhluk pembelajar. Namun, proses pembentukan diri tidak hanya terjadi di ruang kelas. Pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi memang berperan besar dalam memberikan landasan intelektual, keterampilan, serta disiplin berpikir. Namun pendidikan informal—yang terjadi di rumah, lingkungan sosial, dan kehidupan sehari-hari—sama pentingnya. Seorang anak belajar nilai kejujuran dari keluarganya, mengasah empati melalui pergaulan, dan memahami budaya lewat pengalaman hidup di tengah masyarakat. Semua itu menjadi potongan-potongan penting dalam mozaik kepribadian seseorang.

Faktor-faktor yang membentuk individu sangat kompleks dan saling berkelindan. Lingkungan sosial memberikan pengaruh besar terhadap cara seseorang melihat dunia. Budaya tempat ia tumbuh memberi kerangka berpikir dan bertindak. Sementara keluarga, sebagai institusi pendidikan pertama dan utama, memiliki tanggung jawab moral yang tidak bisa dilepaskan. Nilai-nilai yang ditanamkan di rumah akan menjadi akar kuat yang menopang individu di kemudian hari. Pendidikan formal dapat mengasah kemampuan, tetapi keluarga dan lingkungan membentuk watak.

Satu hal yang tak kalah penting adalah kesetaraan potensi manusia. Teori tabula rasa meyakini bahwa setiap individu lahir dengan peluang yang sama untuk belajar dan berkembang. Tidak ada manusia yang lebih unggul hanya karena latar belakang lahirnya. Perbedaan hasil yang terlihat dalam kehidupan bukan karena perbedaan potensi awal, melainkan karena perbedaan dalam akses terhadap pendidikan dan kualitas pengalaman. Maka, kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa luas kesempatan belajar yang ia miliki dan seberapa mendalam pengalaman hidup yang ia rasakan.

Dalam konteks ini, pendidikan bukan sekadar hak individu, tetapi juga menjadi tanggung jawab sosial. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang menyediakan lingkungan belajar yang sehat bagi semua warganya. Negara yang maju adalah negara yang memastikan bahwa setiap anak, tanpa kecuali, mendapatkan pendidikan berkualitas. Kita tidak bisa berharap manusia tumbuh menjadi pribadi unggul jika lingkungan tempat mereka belajar penuh dengan kekerasan, kemiskinan, atau ketidakadilan. Maka, menyediakan akses pendidikan yang merata adalah investasi jangka panjang bagi peradaban.

Tanggung jawab ini tidak hanya terletak pada pundak pemerintah atau lembaga pendidikan. Setiap orang, dari orang tua hingga tetangga, dari guru hingga pemimpin komunitas, memiliki peran penting dalam menciptakan ruang belajar yang kondusif. Kita semua adalah bagian dari lingkungan yang sedang menulis di atas “kertas kosong” generasi berikutnya. Maka, sudah seharusnya kita menulis dengan penuh kesadaran, dengan tinta kasih sayang, dan dengan huruf-huruf harapan.

Pendidikan dan lingkungan adalah dua sisi mata uang dalam pembentukan manusia. Jika keduanya berkualitas, maka kita tidak hanya membentuk individu yang cerdas, tetapi juga manusia yang berintegritas, adaptif, dan siap menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya, mengabaikan salah satunya berarti kita sedang membiarkan potensi besar umat manusia terbuang sia-sia.

Relevansi Teori Tabula Rasa dalam Pendidikan Modern: Menulis Masa Depan di Atas Kertas Kosong

Gagasan John Locke tentang tabula rasa—pikiran manusia saat lahir ibarat kertas kosong tanpa tulisan—terus bergema dalam diskursus pendidikan hingga hari ini. Meski berasal dari abad ke-17, teori ini tetap relevan dalam konteks pendidikan modern, terutama dalam cara kita memandang anak didik, merumuskan peran pendidik, serta merancang metode pembelajaran yang efektif. Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, tabula rasa menjadi pengingat bahwa setiap anak memiliki potensi luar biasa yang menunggu untuk diisi dengan pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan.

Dalam teori tabula rasa, anak-anak bukanlah individu dengan bawaan naluriah tertentu, melainkan seperti lembaran putih yang siap diisi. Ini menuntut para pendidik dan orang dewasa untuk berhenti memandang peserta didik sebagai produk jadi yang harus dicetak seragam. Sebaliknya, mereka harus dipahami sebagai pribadi unik yang dapat berkembang optimal bila diberi kesempatan dan pendekatan yang sesuai. Maka, pendekatan personal dalam pendidikan menjadi sangat penting. Memahami latar belakang, minat, gaya belajar, dan ritme perkembangan tiap anak menjadi kunci untuk membimbing mereka menemukan jati diri dan bakatnya.

Dalam konteks ini, peran pendidik menjadi lebih dari sekadar penyampai materi. Guru adalah penulis awal yang akan menggoreskan huruf-huruf pertama di atas kertas kosong itu. Mereka bukan hanya bertugas menanamkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan nilai-nilai moral, dan mengajarkan keterampilan hidup. Tanggung jawab ini sangat besar, karena setiap kata yang dituliskan dalam pikiran anak akan memengaruhi bagaimana mereka memandang dunia, mengambil keputusan, dan menjalani hidup.

Untuk mewujudkan hal ini, sistem pendidikan harus berani mengadopsi metode yang mendukung pembelajaran berbasis pengalaman langsung. Pembelajaran tidak lagi cukup hanya dengan hafalan atau ceramah satu arah. Sebaliknya, observasi, eksperimen, diskusi, dan eksplorasi menjadi pendekatan yang jauh lebih efektif. Anak-anak harus diajak untuk merasakan, menyentuh, melihat, dan mengalami proses belajar agar ilmu yang diperoleh tidak hanya menempel di kepala, tetapi juga melekat dalam hati dan diterapkan dalam kehidupan.

Namun, dalam praktiknya, penerapan teori tabula rasa masih menghadapi berbagai tantangan. Di beberapa wilayah, keterbatasan sumber daya pendidikan seperti kurangnya guru, minimnya fasilitas, dan rendahnya akses teknologi menjadi penghambat utama. Guru yang idealnya dapat memberi perhatian personal pada tiap anak, kerap dibebani beban administrasi dan jumlah murid yang terlalu banyak. Di sisi lain, masih banyak sistem pendidikan yang menekankan hasil akhir dan prestasi akademik semata, tanpa memberi ruang bagi proses belajar yang bermakna dan kontekstual.

Ketidakseimbangan antara teori dan praktik ini menuntut perhatian serius dari para pemangku kebijakan pendidikan. Untuk benar-benar menerapkan semangat tabula rasa, diperlukan komitmen bersama untuk membenahi sistem pendidikan, meningkatkan kualitas guru, menyediakan sarana yang memadai, serta menciptakan budaya belajar yang menghargai proses dan keberagaman individu.

Akhirnya, teori tabula rasa bukanlah sekadar filsafat lama yang tinggal dalam buku sejarah. Ia adalah cermin bagi pendidikan modern untuk terus mengevaluasi diri—apakah kita sudah benar-benar memberi ruang bagi anak-anak untuk tumbuh sesuai potensinya? Apakah kita sudah menjadi penulis yang bijak bagi kertas-kertas kosong yang dipercayakan pada kita? Dalam setiap ruang kelas, setiap pertemuan belajar, dan setiap interaksi dengan peserta didik, kita sebenarnya sedang menulis masa depan. Maka, marilah kita menulisnya dengan penuh cinta, kesabaran, dan harapan.

Menulis Masa Depan di Atas Kertas Kosong: Sebuah Penutup tentang Teori Tabula Rasa

Sebagai penutup dari perjalanan pemikiran yang panjang, teori tabula rasa memberikan kita pandangan yang dalam sekaligus optimistis tentang hakikat manusia. Gagasan bahwa pikiran manusia pada saat lahir adalah seperti “kertas kosong” menyiratkan bahwa segala bentuk pengetahuan, perilaku, dan karakter yang berkembang dalam diri seseorang adalah hasil dari pengalaman, pembelajaran, dan pengaruh lingkungan. Tidak ada yang ditentukan sejak lahir. Yang ada hanyalah potensi murni yang menunggu untuk diisi oleh kehidupan dan pendidikan.

Dalam konteks ini, lingkungan menjadi salah satu faktor paling penting dalam membentuk siapa kita kelak. Lingkungan tidak hanya mencakup sekolah atau institusi pendidikan formal, tetapi juga keluarga, masyarakat, budaya, bahkan media yang mengelilingi seseorang sejak dini. Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami setiap hari akan memberi warna pada lembaran kosong itu—entah menjadi catatan keberhasilan atau pelajaran atas kegagalan.

Dari sinilah dunia pendidikan seharusnya mengambil pelajaran berharga. Setiap anak, tanpa memandang latar belakangnya, memiliki potensi besar untuk berkembang. Mereka butuh pendidikan yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menyentuh hati, menginspirasi, dan menumbuhkan semangat untuk terus belajar. Di sinilah peran vital seorang pendidik terletak: bukan sekadar pengajar, tetapi pembimbing, penulis awal dari kisah hidup seorang anak.

Namun, untuk benar-benar mewujudkan gagasan ini, kita perlu merenung dan mengevaluasi kembali pembelajaran kita kepada anak didik. Apakah kegiatan belajar mengajar yang kita laksanakan sudah memberi ruang bagi setiap anak untuk berkembang? Apakah akses pendidikan sudah merata bagi semua kalangan? Apakah metode belajar sudah sesuai dengan kebutuhan dan keunikan peserta didik?

Kunci dari semua ini terletak pada kolaborasi. Pendidik tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan dukungan penuh dari keluarga dan masyarakat agar anak-anak mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh. Karena pendidikan sejati bukan hanya tanggung jawab sekolah, melainkan tugas bersama seluruh elemen bangsa.

Maka, marilah kita bersama-sama menjaga dan memperbaiki setiap “pena” yang digunakan untuk menulis di atas kertas kosong anak-anak kita. Karena dari sanalah, masa depan dibentuk—satu kata, satu nilai, satu tindakan, satu harapan pada satu waktu.

Bumiayu, 18 April 2025

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMKN 10 Semarang daPenulis Buku Manajemen Mengelola Sekolah.

Buku yang sudah diterbitkan :

  1. Membangun Sekolah Rintisan Menjadi Sekolah Rujukan
  2. Membangun Sekolah Biasa Menjadi Luar Biasa
  3. Rahasia Membangun Sekolah Juara
  4. Kepala Sekolah yang Dirindukan
  5. Kiat Sukses Membangun Sekolah Unggul
  6. Pendekatan Deep Learning Dalam Pembelajaran

Buku dalam proses penyelesaian :

  1. Kepemimpinan Dalam Islam

Jika Anda tercerahkan dari tulisan ini mohon kiranya untuk bisa membantu penyelesaian pembangunan Masjid Baitul Iman SMK Negeri 10 Semarang dengan memberikan amal jariyah ke :

Bank Muamalat

5010124623

Muslim Anwar Or Hesti Sulistiyowati

1 Komentar

Arimurti Asmoro
Minggu, 20 Apr 2025

Terima kasih, Pak Ardan, mengingatkan kembali dengan melakukan proses pembelajaran sepanjang hayat yang berorientasi pada kodrat manusia yang mulia dengan segala potensi dirinya.

Balas

Beri Komentar

Balasan