Dunia pendidikan tengah berada pada persimpangan besar. Gelombang digitalisasi, kurikulum merdeka, serta tantangan global yang semakin kompleks membuat sekolah tidak bisa lagi berjalan dengan pola lama. Di banyak ruang kelas, papan tulis hitam telah berganti layar interaktif, buku pelajaran kini bersanding dengan e-learning, sementara siswa mengakses pengetahuan tak terbatas hanya melalui genggaman. Namun, pertanyaan reflektif harus terus kita ajukan: apakah sekolah kita benar-benar sedang berjalan menuju masa depan, atau hanya mengulang masa lalu dengan kemasan baru? Ki Hajar Dewantara pernah berpesan, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pesan ini menegaskan bahwa kepemimpinan di dunia pendidikan bukan sekadar urusan administratif, melainkan menggerakkan arah perubahan, menjadi teladan, dan mendorong setiap insan untuk tumbuh. Bung Karno pun mengingatkan, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Semangat itu sejatinya dapat dimaknai pula dalam konteks kepemimpinan sekolah: berikan satu kepala sekolah yang visioner, maka ia mampu mengguncang perubahan besar dalam dunia pendidikan.
Apa sebenarnya makna dari kepala sekolah visioner? Kepala sekolah visioner adalah pemimpin pendidikan yang mampu melihat jauh ke depan, membangun ekosistem belajar yang relevan dengan zaman sekaligus bermakna bagi kehidupan siswa. Berbeda dengan kepala sekolah administratif yang lebih banyak berkutat pada laporan, surat-menyurat, dan urusan teknis birokrasi, kepala sekolah visioner hadir dengan pandangan strategis jangka panjang. Mereka tidak hanya mengelola sekolah agar berjalan, tetapi memastikan sekolah bergerak ke arah yang tepat. Ciri-cirinya jelas: memiliki visi kuat yang membumi namun sekaligus melangit, berani berinovasi di tengah keterbatasan, serta mampu memberdayakan guru dan siswa menjadi agen perubahan. Kepala sekolah visioner adalah mereka yang tidak takut untuk mengguncang rutinitas lama, tetapi juga tahu bagaimana merawat budaya sekolah agar tetap berakar.
Ada beberapa pilar penting yang menopang kepemimpinan visioner di sekolah. Pertama, visi yang berakar pada nilai dan konteks lokal. Visi bukan sekadar slogan di dinding sekolah, melainkan arah perubahan yang nyata. Kepala sekolah visioner menyadari bahwa pendidikan harus mampu menjembatani kebutuhan global tanpa tercerabut dari kearifan lokal. Sistem Subak di Bali atau filosofi gotong royong di desa-desa nusantara bisa menjadi inspirasi dalam membangun pola pikir kolaboratif dan berkelanjutan. Kedua, membangun budaya belajar yang kritis dan kreatif. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan fasilitator yang memicu pertanyaan, eksperimen, dan diskusi. Siswa tidak lagi diperlakukan sebagai obyek, tetapi subjek yang punya suara dalam pembelajaran. Ketiga, kepemimpinan yang memberdayakan. Kepala sekolah visioner mendorong guru untuk reflektif, memberi ruang untuk bereksperimen, dan menciptakan tim yang solid. Mereka tidak segan mendengarkan, karena tahu bahwa perubahan tidak lahir dari instruksi tunggal, tetapi dari kolaborasi. Keempat, keberanian mengubah sistem. Kepala sekolah visioner berani melawan rutinitas birokratis yang stagnan, menciptakan inovasi dalam kurikulum, metode, hingga sistem penilaian yang lebih autentik.
Namun, menjadi kepala sekolah visioner tentu tidak tanpa tantangan. Tekanan administratif dan beban birokrasi sering kali membuat energi pemimpin habis untuk urusan teknis. Tidak jarang pula muncul resistensi dari dalam sekolah: ada guru atau pegawai yang enggan berubah, terbiasa dengan pola lama, atau takut menghadapi ketidakpastian. Keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun fasilitas, menjadi batu sandungan lain. Lebih besar lagi, dunia pendidikan kita sedang mengalami krisis identitas: apakah kita mendidik untuk memenuhi standar global, atau untuk membangun jati diri bangsa? Kepala sekolah visioner dituntut untuk menavigasi semua tantangan itu, tanpa kehilangan arah.
Strategi untuk menjadi kepala sekolah visioner harus dimulai dari penyusunan Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM) yang berbasis visi jangka panjang. RKJM bukan hanya daftar kegiatan, tetapi peta jalan menuju transformasi pembelajaran yang mendalam atau deep learning. Strategi lain adalah membangun komunitas belajar yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua. Sekolah visioner adalah sekolah yang hidup sebagai ekosistem, bukan gedung yang berdiri sendiri. Integrasi teknologi digital dengan budaya lokal juga penting agar pembelajaran tidak kehilangan konteks. Dan tentu saja, kepala sekolah visioner harus menjadi role model: berani berpikir kritis, reflektif, dan menunjukkan bahwa belajar adalah proses sepanjang hayat.
Sebagai kepala SMK Negeri 10 Semarang, saya sendiri mencoba menapaki jalan kepemimpinan visioner ini. Salah satu langkah nyata adalah merumuskan visi sekolah yang hidup, adaptif, dan relevan. Melalui publikasi “Visi yang Hidup, Sekolah yang Bertumbuh”, kami sedang mempersiapkan RKJM baru mulai Januari 2026 dengan visi: “Menjadikan SMK Negeri 10 Semarang sebagai komunitas pembelajar yang unggul, adaptif, dan berkarakter, yang menumbuhkan semangat kolaboratif untuk menciptakan pembelajaran bermakna dan berkelanjutan demi mewujudkan generasi berdaya saing global dan berakar pada nilai-nilai kearifan lokal.” Visi ini bukan sekadar tulisan, melainkan arah nyata: menyeimbangkan kebutuhan global dengan kekayaan lokal, membangun pembelajaran yang bermakna dan tahan lama. Di situlah ciri kepemimpinan visioner menemukan bentuknya.
Selain itu, saya berkesempatan lolos sebagai calon pelatih (trainer of trainers) untuk program deep learning yang diselenggarakan BBGTK Jawa Tengah. Hal ini memperluas wawasan dan kapasitas saya sebagai fasilitator perubahan. Saya tidak ingin berhenti pada administrasi, tetapi ingin memastikan guru di sekolah kami memahami pentingnya Higher Order Thinking Skills (HOTS), penilaian autentik, serta pembelajaran berbasis konteks nyata. Inilah bentuk komitmen bahwa sekolah bukan hanya tempat mengajar, melainkan ruang hidup yang mengasah pemikiran kritis dan kreatif.
Di bawah kepemimpinan ini, SMK Negeri 10 Semarang mulai menuai prestasi. Bukan hanya siswa yang berhasil meraih juara dalam berbagai lomba akademik dan non-akademik, tetapi juga guru yang mendapat penghargaan seperti “Guru Inovatif dan Dedikatif” tingkat Jawa Tengah. Budaya literasi sekolah juga berkembang hingga meraih penghargaan “Sekolah Berkinerja Terbaik Bidang Literasi.” Semua ini menjadi bukti bahwa perubahan tidak hanya dirasakan di tataran wacana, tetapi nyata dalam kinerja.
Publikasi dan berbagi praktik baik juga menjadi perhatian saya. Buku “Membangun Sekolah Biasa Menjadi Luar Biasa” serta “Rahasia Membangun Sekolah Juara” lahir bukan untuk sekadar kenang-kenangan, tetapi sebagai strategi nyata yang sudah dijalankan dan bisa diadopsi oleh sekolah lain. Buku itu pun saya serahkan sebagai cinderamata di beberapa kesempatan, misalnya di SMK 17 Temanggung, sebagai bentuk kolaborasi dan penyebaran praktik baik. Kepemimpinan visioner tidak boleh eksklusif; ia harus menyebar, karena pendidikan adalah urusan kolektif bangsa.
Kegiatan lain yang mendukung kapasitas warga sekolah terus saya dorong, seperti workshop Hari Pers Nasional untuk memperkuat keterampilan komunikasi siswa, pelatihan kreatif digital, hingga pengembangan soft skills. Dalam setiap upacara atau acara pelepasan siswa, saya selalu menekankan bahwa lulusan sekolah tidak cukup hanya dengan ijazah. Mereka butuh mentalitas, karakter, dan keberanian untuk menjadi “kepala macan, bukan ekor kucing.” Analogi itu saya gunakan untuk menegaskan bahwa lulusan harus berani memimpin, bukan sekadar ikut arus.
Pada akhirnya, kepala sekolah visioner bukan hanya manajer sekolah, melainkan penjaga peradaban. Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya.” Tetapi sejarah baru hanya akan lahir jika pendidikan kita berani bertransformasi. Kepala sekolah harus menjadi garda terdepan, berani bermimpi, berpikir, dan bertindak demi generasi mendatang. Seperti lilin yang rela terbakar demi menerangi sekitarnya, kepala sekolah visioner adalah cahaya yang menjaga arah peradaban agar tetap menyala.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, S.Pd, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang
Beri Komentar