Sabtu, 11-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Menjadi Giver yang Bijak di Tengah Dunia yang Serba Mengambil

Diterbitkan : Jumat, 10 Oktober 2025

“Apa yang membuat seseorang benar-benar sukses dalam hidup dan hubungan sosialnya?” Pertanyaan sederhana itu menghantui saya selama seminggu terakhir — bukan sebagai pemantik teori, melainkan sebagai bahan perenungan mendalam tentang perjalanan kepemimpinan saya di dunia pendidikan. Dalam hiruk-pikuk pekerjaan seorang kepala sekolah, di mana setiap hari dihadapkan pada tuntutan administratif, dinamika guru, dan harapan masyarakat, pertanyaan itu menjadi jeda: seberapa jauh keberhasilan yang saya capai benar-benar bermakna, dan seberapa dalam pengaruhnya bagi orang lain?

Refleksi ini saya tulis dalam Catatan CEO SMK Negeri 10 Semarang — bukan dalam pengertian chief executive officer korporasi, melainkan sebagai metafora bagi pemimpin pendidikan yang berpikir strategis, bertindak manusiawi, dan belajar terus-menerus. Catatan ini adalah kristalisasi dari sebuah buku yang baru saja saya baca, karya Adam Grant berjudul Give and Take, yang memperkenalkan tiga tipe dasar manusia dalam relasi sosial: Giver, Taker, dan Matcher.

Membaca buku itu membuat saya berhenti sejenak dan menatap ke dalam diri. Saya menyadari bahwa dalam dunia pendidikan, khususnya di SMK yang penuh kolaborasi dan kerja kolektif, hubungan antar manusia jauh lebih penting daripada sekadar struktur atau kebijakan. Seorang kepala sekolah tidak hanya mengatur, tetapi menginspirasi; tidak hanya mengontrol, tetapi memampukan orang lain untuk tumbuh. Di situlah refleksi ini menemukan relevansinya: memahami bagaimana cara kita memberi, mengambil, dan menyeimbangkan hubungan menentukan arah dari seluruh organisasi yang kita pimpin.

Refleksi bagi kepala sekolah bagi saya bukanlah kegiatan administratif atau formalitas laporan tahunan. Ia adalah proses evaluasi diri yang jujur, mendalam, dan kadang menyakitkan. Dalam refleksi, seorang pemimpin belajar mengenali dirinya sendiri — bukan hanya keberhasilan yang tampak, tetapi juga kegagalan yang tersembunyi. Refleksi memaksa kita untuk bertanya: apakah setiap keputusan yang kita buat benar-benar berpihak pada kebaikan bersama, atau sekadar memenuhi ego pribadi?

Melalui refleksi, saya belajar bahwa kepemimpinan sejati adalah perjalanan yang tak pernah selesai. Ia bukan garis lurus menuju kesuksesan, tetapi rangkaian lengkung, naik-turun, dengan banyak titik belajar di sepanjang jalan. Di sinilah konsep Giver, Taker, dan Matcher menjadi jendela baru untuk memahami diri saya sendiri — bukan hanya sebagai kepala sekolah, tetapi sebagai manusia.

Adam Grant membagi manusia ke dalam tiga kategori berdasarkan cara mereka berinteraksi dan memberi dalam kehidupan sosial maupun profesional.

Pertama, Giver — mereka yang memberi tanpa mengharapkan imbalan langsung. Giver menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Dalam konteks dunia pendidikan, Giver adalah guru yang rela mengorbankan waktu demi membimbing siswanya, kepala sekolah yang mau mendengarkan sebelum memutuskan, atau tenaga kependidikan yang bekerja dengan hati tanpa pamrih. Filosofinya selaras dengan altruisme, paham yang menempatkan kebaikan orang lain sebagai tujuan moral tertinggi.

Namun, di balik ketulusan Giver, tersimpan dilema: apakah memberi tanpa batas selalu baik? Dalam konteks utilitarianisme, memberi dinilai dari seberapa besar manfaat yang dihasilkan. Tapi dalam praksis kehidupan nyata, memberi tanpa arah bisa menjadi bumerang — melelahkan, bahkan merusak diri sendiri.

Kedua, Taker — mereka yang berorientasi pada keuntungan pribadi. Taker cenderung memandang dunia sebagai arena kompetisi. Dalam organisasi, mereka biasanya cepat naik karena ambisi dan keberanian mengambil peluang. Namun di balik itu, sering kali mereka mengabaikan nilai kerja sama. Filosofinya dekat dengan egoisme etis dan teori kontrak sosial Thomas Hobbes, yang melihat manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya berjuang mempertahankan diri dalam “perang semua melawan semua.”

Ketiga, Matcher — mereka yang berpegang pada prinsip timbal balik. Matcher percaya pada keseimbangan antara memberi dan menerima. Dalam budaya kerja, mereka adalah perekat sistem sosial: memberi jika sudah menerima, menolong jika yakin suatu saat akan dibalas. Filosofinya berakar pada keadilan distributif dan etika timbal balik: semua orang mendapatkan sesuai dengan kontribusinya.

Dari ketiganya, Giver adalah yang paling menarik sekaligus paling kompleks. Data riset Adam Grant menunjukkan bahwa Giver menempati dua posisi ekstrem dalam skala kesuksesan: mereka bisa menjadi yang paling sukses, atau justru paling gagal. Inilah yang disebut the giver’s paradox.

Giver yang sukses biasanya adalah mereka yang memberi dengan strategi dan kesadaran. Mereka tahu kapan harus membantu, siapa yang perlu didukung, dan sejauh mana memberi tidak mengorbankan diri sendiri. Mereka membangun kepercayaan, bukan ketergantungan. Dalam konteks kepemimpinan, Giver seperti ini menciptakan organisasi yang sehat dan penuh semangat kolaboratif. Mereka memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh, tanpa kehilangan arah atau integritas pribadi.

Secara filosofis, hal ini sejalan dengan konsep eudaimonia dalam pandangan Aristoteles: kebahagiaan sejati muncul dari kehidupan yang dijalani dengan kebajikan dan kesadaran moral. Giver yang bijak menemukan makna dalam memberi, bukan karena ingin dipuji, tetapi karena sadar bahwa nilai hidupnya ditentukan oleh kontribusi terhadap orang lain.

Namun ada pula Giver yang gagal — mereka yang terlalu baik, terlalu lembut, hingga akhirnya terjebak dalam kelelahan emosional dan eksploitasi. Dalam konteks organisasi, mereka sering kali menjadi korban Taker yang memanfaatkan kebaikan untuk kepentingan pribadi. Mereka kehilangan batas antara memberi dan menyerah. Inilah sisi gelap dari kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan. Nietzsche menyebut moralitas semacam itu sebagai bentuk kelemahan: kebaikan yang lahir dari rasa takut atau kebutuhan untuk diterima, bukan dari kekuatan untuk memilih.

Berbeda dari Giver, Taker dan Matcher tidak mengalami fluktuasi ekstrem. Taker sering kali sukses di awal karena sikap agresif dan fokus pada hasil. Namun kesuksesan mereka jarang bertahan lama, sebab kepercayaan yang mereka rusak tidak mudah dipulihkan. Orang lain belajar menjauh, dan sistem sosial pun menolak kehadiran mereka.

Sedangkan Matcher berada di posisi stabil — tidak pernah jatuh terlalu dalam, tapi juga jarang mencapai puncak. Matcher menjaga harmoni sosial, namun dalam jangka panjang mereka cenderung berhenti berinovasi. Dunia bergerak karena orang-orang yang berani memberi lebih dari yang diminta, dan itulah ruang di mana Giver yang bijak berdiri.

Dalam perspektif organisasi pendidikan, saya melihat ketiga tipe ini hidup berdampingan. Ada guru Giver yang tulus, guru Matcher yang disiplin, dan kadang ada juga Taker yang mementingkan kepentingannya sendiri. Tugas seorang kepala sekolah bukan menghakimi, melainkan menata keseimbangan agar kebaikan bisa tumbuh tanpa dimanfaatkan.

Pertanyaan reflektif berikutnya yang muncul adalah: Apakah kebaikan yang tidak membawa kebahagiaan pribadi tetap bernilai? Di satu sisi, utilitarianisme menilai kebaikan dari dampak manfaatnya bagi banyak orang. Di sisi lain, eksistensialisme menegaskan bahwa nilai sejati terletak pada keotentikan — tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan karena tekanan sosial.

Saya menemukan sintesisnya dalam konsep ubuntu dari Afrika Selatan: “Saya ada karena kita ada.” Kebaikan bukanlah transaksi, melainkan kesadaran kolektif bahwa kehidupan manusia saling terhubung. Memberi bukan berarti kehilangan, melainkan memperluas keberadaan diri melalui orang lain.

Pandangan Stoik menambahkan lapisan baru dalam refleksi ini: kebaikan sejati bukan tentang hasil, tetapi tentang kendali diri. Seorang Giver sejati memberi dengan sadar, tanpa keterikatan pada hasil, tanpa kemarahan jika tak dibalas, tanpa kesombongan jika diakui.

Sebagai kepala sekolah, saya menemukan bahwa peran Giver menjadi semakin relevan di tengah perubahan besar dalam dunia pendidikan. Guru dan siswa kini hidup dalam ekosistem yang cepat berubah — digital, kompetitif, dan penuh tekanan. Dalam konteks ini, seorang pemimpin tidak bisa hanya mengatur dari atas, tetapi harus turun mendengarkan, membangun rasa percaya, dan menciptakan ruang aman untuk bertumbuh.

Namun menjadi Giver di dunia yang serba cepat menuntut kecerdasan emosional dan spiritual. Saya belajar bahwa memberi harus disertai batas. Seorang pemimpin yang terus “memberi” tanpa memelihara diri akhirnya tidak lagi bisa memberi apa-apa. Kebaikan harus dikelola seperti energi: ada saat untuk berbagi, ada saat untuk berhenti dan memperbarui diri.

Dalam pengalaman saya di SMK Negeri 10 Semarang, transformasi sekolah tidak lahir dari satu kebijakan besar, tetapi dari serangkaian tindakan kecil yang dilakukan dengan konsistensi dan niat baik. Mendengarkan guru yang sedang bemasalah, memberi ruang bagi ide siswa, atau sekadar mengucapkan terima kasih kepada tenaga kebersihan — semua itu bagian dari memberi yang membangun kultur positif.

Akhirnya, saya menyadari bahwa tipe manusia bukan sekadar label perilaku, melainkan strategi hidup. Dunia ini tidak kekurangan orang baik, tetapi kekurangan orang baik yang bijak. Giver yang sukses adalah mereka yang memberi dengan kesadaran penuh, dengan batas yang sehat, dan dengan visi jangka panjang.

Sebagai kepala sekolah, saya  menanamkan nilai itu di lingkungan saya: bahwa memberi bukan berarti lemah, tetapi justru tanda kekuatan. Kebaikan bukan sekadar perasaan, melainkan keputusan sadar untuk menciptakan nilai bagi orang lain.

Socrates pernah berkata, “Kebahagiaan bukanlah hasil dari apa yang kita terima, melainkan dari apa yang kita berikan dengan penuh kesadaran.” Refleksi ini mengingatkan saya bahwa setiap langkah kecil menuju kebaikan, jika dilakukan dengan keikhlasan dan kebijaksanaan, adalah bagian dari perjalanan panjang menuju kemajuan yang berkelanjutan — bagi diri sendiri, bagi sekolah, dan bagi dunia pendidikan yang kita cintai.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang

8 Komentar

Eni SUPRIYATI
Jumat, 10 Okt 2025

Sangat menginspirasi. Semangat pak Ardan dan jangan lelah dalam memimpin dan membimbing kami menjadi guru yg lebih baik lagi .

Balas
Nasi'in Samsul Huda
Jumat, 10 Okt 2025

Terimakasih bapak Ardan Sirojuddin telah memimpin kami untuk menjadi lebih baik lagi

Balas
Digna Palupi
Jumat, 10 Okt 2025

Semangat berbagi dan sukses selalu Pak Ardan.🙏🏻

Balas
arimurti asmoro
Jumat, 10 Okt 2025

Terima kasih, Pak Ardan, memberi teladan dalam membangun budaya sekolah yang positif dengan pengembangan diri dan kolaborasi.

Balas
Susanti
Jumat, 10 Okt 2025

Terus menebar kebaikan 👍

Balas
WILER UPIK
Sabtu, 11 Okt 2025

Semangat terus berbagi manfaat.

Balas
Febtiyaningsih
Sabtu, 11 Okt 2025

Semangat untuk menjadi lebih baik lagi..

Balas
Soedjatmiko
Sabtu, 11 Okt 2025

Siap berbagi ilmunya.
Bermanfaat untuk semua.

Balas

Beri Komentar

Balasan